Neo Mahasiswa dan Generasi Android
| |Neo Mahasiswa dan Generasi Android – Sebuah tipologi lahir dari hasrat untuk mengelompokkan berbagai karakter dan dimensi manusia menjadi sesuatu yang seolah-olah bisa diukur, digolong-golongkan, dimirip-miripkan, dipas-paskan. Muncullah bermacam teori untuk mengkaji dinamika kedinamisan manusia dari berbagai perspektif. Ada yang berangkat dari kerangka fisikal yang dikenal dengan fisiognomi, ada yang berpijak dari potret bagaimana seseorang tidur, cara ia berjalan, cara ia makan dan lain sebagainya. Tapi validkah ukuran-ukuran itu? Bukan itu poinnya.
Awalnya saya menduga mahasiswa kupu-kupu sebagai tema yang hendak diangkat di buletin ini adalah semacam analogi untuk serangga (insecta) bersayap dua (diptera) yang memiliki warna indah dan mengalami metamorfosa selama hidupnya. Atau ia seperti simbol prototype negatif yang selalu bertendensi dengan malam, berkonotasi dengan dunia kelam, jadilah ia seperti judul sebuah lagu: Kupu-kupu Malam. Ternyata bukan kedua-duanya, dan saya pun kecele karenanya.
Tipe mahasiswa Kupu-kupu ternyata adalah akronim dari “kuliah pulang-kuliah pulang”, yang secara diametris berbeda dengan model Kunang-kunang, yakni “kuliah nangkring-kuliah nangkring” dan Kura-kura alias “kuliah rapat-kuliah rapat”. Bahasa kerennya, ketiga tipologi itu mungkin bisa disederhanakan dengan istilah mahasiswa anak mama, mahasiswa hedonis-glaumor, dan mahasiswa aktivis-organisatoris.
Bagi mahasiswa baru yang sebelumnya identik dengan baju abu-abu, melihat realitas yang terjadi di bangku kuliah mungkin mengalami hentakan yang kronis di benaknya. Di film-film teenlit-stensilan atau di FTV Siang di SCTV, gambaran mahasiswa biasanya disuguhkan dengan acara kongkow-kongkow di kantin, ngeceng di cafe-cafe dan mall-mall, atau nge-date entah kemana. Faktanya, dunia mahasiswa adalah realitas yang sarat anomali dan bisa ditinjau dari berbagai segi. Maka banyak kita temui mahasiswa yang merasa “endasku ngelu” saat diajak kajian, tapi langsung antusias menyala-nyala saat diajak nongkrong di pinggir jalan sambil menghitung jumlah kendaraan yang lalu lalang.
Di lain tempat, kita jumpai mahasiswa yang kerjanya cuma sibuk berkutat dengan tumpukan paper dan jibunan buku di perpustakaan, di lain waktu kita terheran-heran dengan mahasiswa perfeksionis yang bisanya hanya sibuk ngurus perbaikan nilai, karena IPK-nya tak sesuai harapan, dan sesekali kita melongo, takjub sekaligus kebingungan saat melihat aksi demo para aktivis mahasiswa yang konon memperjuangkan idealismenya, tapi tak paham sesungguhnya yang terjadi apa dan untuk kepentingan siapa.
Maka, di tahun 2008, ketika menjadi anggota Steering Committee (SC) pada acara Mapaba PMII Tarbiyah Surabaya Selatan, saya mengajukan satu grand tema: “Re-Eksistensi Mahasiswa: Mendobrak Antagonisme Gerakan dan Diabolisme Pemikiran”, dengan alasan yang sesadar-sadarnya, bahwa hanya mengandalkan gerakan dan pemikiran semata-mata saja tak cukup. Ada satu nilai yang menancap kuat, yang seharusnya menjadi titik ordinat seluruh aktivitas kemahasiswaan dan kemanusiaan kita: reidentifikasi, relokasi, reposisi, reorientasi, reformulasi, dan refungsionalisasi kekhalifahan kita di dunia. Jika tidak, maka gerakan dan pemikiran hanya menjadi mitos yang usang, ideologi yang kadaluarsa, dan berputar-putar di ruangan yang sama: tujuannya memberantas korupsi, tapi disiasati dengan jalan manipulasi. Logikanya adalah kesejahteraan bersama, tapi akhirnya hanya untuk kepentingan golongannya saja. Kita disuguhi gambaran kebenaran, kebaikan dan keindahan, tetapi sesugguhnya hanya dicekoki ilusi kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Baca Juga : Tingkat dan Pengertian Segmentasi Pasar
Barangkali semua itu adalah ekses negatif dari revolusi teknologi informasi yang mencengkeram kuat sebagai kendaraan globalisasi, dengan media sebagai kendaraan utamanya. Vibrasi virtual yang dihasilkannya sudah merambah jauh menelusup ke dalam relung terdalam kesadaran kita, membentuk jejaring yang silang-sengkarut, tak jelas ujung-pangkalnya, benar-salahnya, baik-buruknya, asli-palsunya, dan melebur menjadi satu identitas yang rumit, yakni efek langsung dari apa yang diistilahkan Manuel Castell sebagai oposisi dwi-kutub, yakni kutub jaringan dan kutub diri, the Net and the Self.
Di tengah kekaburan identitas yang kian absurd, di mana trend-trend saling bergesekan dalam tempo yang secepat-cepatnya, bahkan melampaui kodrat perubahan itu sendiri, kebenaran acap kali berwajah kepalsuan. Kebusukan yang menjijikkan bisa tampak sebagai keindahan. Baudrillard menyebutnya sebagai dunia simulakra, di mana kita mengawang-ngawang kebingungan di dalamnya. Dalam konteks di mana negara kita sedang terjerat oleh ilusi-ilusinya sendiri; hidup di neraka tapi sedang merasa di surga, melebur dalam kubangan kenistaan tapi masih merasa berjaya, di manakah sejatinya posisi mahasiswa, bagaimanakah ia meradikalisasi kediriannya, serta bagaimanakah ia melakukan refungsionalisasi atas kemahasiswaannya?
Jika memakai analogi di atas, yakni Kupu-kupu, Kunang-kunang dan Kura-kura, jelas masing-masing memiliki distingsinya sendiri, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Kupu-kupu mampu menyejukkan mata dengan kemilau warnanya, cenderung menghindari “anarkisme”, tapi ia termasuk serangga yang rapuh dan tak tahan banting. Kunang-kunang juga memiliki kilauan cahaya yang magis, tapi ia selalu muncul dari dalam gelap malam. Dan Kura-kura, kita tahu, adalah reptil yang mampu hidup di dua alam, memiliki pelindung atau carapaks yang kokoh yang mampu melindunginya dari berbagai ancaman. Di antara ketiganya, yang manakah yang paling baik dan ideal?
Saya mengusulkan apa yang saya sebut sebagai Neo Mahasiswa yang memiliki keluwesan dan kelenturan seperti Android. Maka, saya juga menyebut tipe ini sebagai Mahasiswa Android. Ingat, generasi Android, bukan pemakai Android, apalagi menggunakannya hanya untuk keren-kerenan, tajir-tajiran, sok-sok ingin dicap modern padahal gapteknya luar biasa nemmen.
Kita tahu, Android yang resmi dirilis tahun 2007 ini adalah operating system yang open sources, multiplatform, yang menyediakan ruang bagi para developer untuk berkreasi sekreatif-kreatifnya, seproduktif-produktifnya. Kerangka sistemnya memungkinkan sebuah software untuk dimodifikasi secara bebas lalu didistribusikan oleh para pembuat perangkat dan operator nirkabel serta tentunya pengembang aplikasi. Ya. Dari dan karena dirinyalah lahir aneka gadget, fitur-fitur, dan aplikasi-aplikasi yang multifungsi.
Itulah mahasiswa Andorid. Mahasiswa yang tidak saja mampu merangkum seluruh kategori-kategori dan kreteria-kreteria temporal yang dilekatkan pada dirinya, tetapi bahkan mampu mengatasinya, melampauinya, dan yang paling penting, mampu mengontrol fungsi kemahasiswaannya dengan tepat. Dialah mahasiswa yang emoh dengan sistem kreditan, maka ia selalu kula’an ilmu sebanyak-banyaknya, di manapun ia berpijak: di bangku-bangku kuliah, di ruang-ruang rapat, di jalan-jalan saat menjadi demonstran, bahkan di lapangan futsal.
Sesunggguhnya kita bisa menciptakan istilah-istilah, idiom-idiom, platform-platform baru tanpa harus berusaha mengunggul-unggulkan diri dan membangga-banggakannya, apalagi sampai mengkerdilkan yang lain. Mahasiswa Android hanyalah analogi saya saja, dan Anda bisa menyebutnya dengan istilah lainnya, selama substansinya sama.
Pada akhirnya, jika apa yang saya usulkan mampu terejawantahkan, maka identitas kesejatian mahasiswa bisa terkuak dengan purna. Sisi ke-maha-an dirinya akan siap menerima cahaya dari mana saja. Lalu mampu mentransfer energi positifnya untuk kesejahteraan bersama. Barangkali bukan suatu kebetulan jika lembaga pendidikan tempat mahasiswa menempa dirinya disebut universitas, al-jami’ah, karena dimensi kelimuan, kedirian, dan kesadarannya bersifat universal, tidak terjebak pada fakultas-fakultas, apalagi jurusan semata. Semoga.
Bahauddin, 24 Oktober 2013